Panggilan itu datang diam-diam, tanpa aba-aba.
Aku sedang duduk di kamar, menatap dinding kosong setelah hari-hari penuh kesibukan, ketika tiba-tiba muncul pikiran yang tidak biasa: “Kapan terakhir kali aku benar-benar mendekat pada Allah سبحانه وتعالى?”
Pertanyaan itu terus bergema, hingga suatu malam aku melihat postingan tentang keutamaan umroh di media sosial. Di situ tertulis:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 196)
Ayat itu sederhana, tapi menusuk.
Entah kenapa, aku merasa seperti sedang dipanggil langsung.
Panggilan yang Tak Bisa Ditolak
Aku tidak pernah menyangka akan berangkat umroh di usia muda. Dalam pikiranku, umroh itu ibadah orang tua — mereka yang sudah siap secara finansial dan spiritual. Tapi malam itu, hatiku gelisah. Ada rasa ingin pergi, ingin sujud di depan Ka’bah, ingin menangis di hadapan Allah سبحانه وتعالى tanpa batas waktu.
Beberapa hari kemudian, aku duduk bersama orang tua dan berkata pelan, “Boleh nggak aku daftar umroh?” Mereka terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kalau Allah sudah panggil, jangan tunggu nanti,” kata Ayah.
Itu kalimat yang aku simpan sampai sekarang.
Perjalanan Menuju Tanah Suci
Hari keberangkatan datang dengan cepat. Aku masih tidak percaya bisa menjejakkan kaki ke tempat suci yang selama ini hanya aku lihat di foto-foto. Di pesawat, aku membaca salah satu hadis yang membuatku semakin yakin:
“Antara satu umroh ke umroh berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Air mataku jatuh tanpa sadar.
Aku membayangkan semua kesalahan masa lalu — setiap kelalaian, setiap dosa kecil — mungkin Allah سبحانه وتعالى ingin aku datang agar bisa dihapus.
Saat pesawat mendarat di Jeddah, langit sore terlihat begitu indah. Seakan seluruh semesta tahu, bahwa ada satu hati muda yang akhirnya menjawab panggilan Tuhannya.
Pertemuan Pertama dengan Ka’bah
Aku masih ingat detik-detik pertama masuk Masjidil Haram. Udara terasa berbeda — lembut, sejuk, dan suci. Langkahku pelan, degup jantung makin kencang.
Lalu tiba-tiba… di hadapanku berdiri Ka’bah.
Aku terpaku. Air mata langsung jatuh deras.
Selama ini aku sering dengar orang bilang, “Begitu lihat Ka’bah, kamu akan menangis tanpa sebab.”
Dan itu benar. Karena di depan rumah Allah سبحانه وتعالى, semua topeng dunia runtuh. Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang hamba yang rindu pulang.
Setiap thawaf terasa seperti menari di antara doa dan air mata. Aku berdoa untuk kedua orang tua, untuk diri sendiri, dan untuk masa depan yang lebih berarti. Di tengah lautan manusia, aku merasa paling dekat dengan Allah سبحانه وتعالى.
Keutamaan Umroh yang Terasa Nyata
Setiap langkah di tanah suci membawa hikmah baru. Aku mulai memahami apa yang dimaksud Rasulullah ﷺ ketika bersabda:
“Umroh di bulan Ramadhan sebanding dengan haji bersamaku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis itu tidak hanya berbicara soal pahala besar, tapi juga kedekatan spiritual yang luar biasa. Karena umroh bukan sekadar perjalanan, tapi bentuk cinta antara hamba dan Tuhannya.
Rasanya seperti Allah سبحانه وتعالى benar-benar ingin aku hadir di depan-Nya, bukan hanya untuk meminta, tapi untuk disembuhkan. Setiap doa yang terucap terasa lebih dalam, setiap sujud lebih lama, dan setiap langkah penuh makna.
Aku sadar, keutamaan umroh bukan hanya pada pahalanya, tapi pada perubahan yang ia bawa dalam diri.
Umroh di Usia Muda: Sebuah Anugerah
Melakukan umroh di usia muda adalah pengalaman yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Aku punya tenaga untuk thawaf tanpa lelah, tapi juga hati yang cukup lembut untuk menangis tanpa malu.
Di sana aku melihat banyak jemaah lanjut usia berjuang dengan tongkat dan kursi roda, tapi mereka tetap tersenyum. Dari situ aku belajar arti kesabaran dan ketulusan.
Aku bersyukur Allah سبحانه وتعالى memberiku kesempatan datang lebih cepat — sebelum dunia benar-benar mengikatku, sebelum kesibukan menutup ruang doa.
Karena ternyata, semakin muda kamu datang, semakin banyak waktu untuk hidup dalam cahaya iman setelahnya.
Nilai Hidup dari Ibadah Umroh
Setelah pulang, aku membawa sesuatu yang tidak bisa dibeli — ketenangan. Aku tidak lagi gelisah saat gagal, tidak lagi iri pada pencapaian orang lain. Karena di depan Ka’bah, aku belajar bahwa semua sudah diatur oleh Allah سبحانه وتعالى dengan sempurna.
Umroh membuatku paham arti sabar, syukur, dan harapan. Bahwa setiap manusia pasti punya jalan pulang, dan Allah سبحانه وتعالى tidak pernah menutup pintu bagi siapa pun yang ingin kembali.
Dari pengalaman ini, aku sadar: keutamaan umroh bukan hanya tentang penghapusan dosa, tapi tentang menemukan makna sejati dari kata “hamba”.
Penutup: Umroh Adalah Titik Balik
Kini setiap kali aku melihat langit malam, aku teringat langit Makkah — cerah, luas, dan menenangkan. Kadang aku rindu, ingin kembali thawaf, ingin kembali menangis di Raudhah, ingin kembali merasakan kehadiran Allah سبحانه وتعالى sedekat itu.
Tapi yang paling aku syukuri adalah: aku sudah pernah menjawab panggilan itu.
Dan aku tahu, suatu hari nanti, Allah سبحانه وتعالى akan memanggilku lagi — mungkin untuk haji, mungkin untuk umroh berikutnya.
Karena umroh bukan sekadar perjalanan satu kali, tapi perjalanan seumur hidup menuju kedekatan dengan-Nya. 🌙